INFO

DALAM RANGKA TAHUN BARU MASEHI #2012: BLOG SEDANG DIPERMAK ULANG.

Boleh jadi kita memang kurang bersyukur

Written By Informasi singkat tentang saya on Rabu, 02 Juli 2008 | 00.14

Cerita-cerita sehari-hari, memang menyenangkan. Meski terkadang ada yang harus membuat kita jengkel, marah, menangis, terharu, bahkan... bersyukur. Boleh jadi kita memang kurang bersyukur. Judul itu saya buat, hampir mirip dengan judul kajian yang diadakan oleh kantor saya pada ahad, 29 Juni 2008 lalu.

Berada dalam kondisi yang serba tidak pasti dan tidak menentu, memang dirasa tidak menyenangkan bagi beberapa orang. Karena alasan tidak pasti dan tidak menentu. Mau melakukan ini, melakukan itu yang ada hanyalah kekhawatiran dan keraguan dalam melangkah. Jangan-jangan boros energi, sudah melakukan ini dan itu, tapi ternyata gagal total dan ditolak mentah-mentah. Jangan-jangan nasib kita tidak jelas, dsb. Akhirnya, yang ada adalah, "wo don't anything" atau "work not right place". Kira-kira begitulah. Melakukan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan pokok kita. Namun, bagi sebagian kecil orang yang lain, mencoba untuk memanfaatkan kondisi yang tidak menguntungkan ini. Pada saat kondisi yang tidak menguntungkan, tidak menentu, dan tidak pasti ini, bagi mereka yang pandai membaca situasi serta tidak betah dalam kestagnansiannya, mereka lebih menggunakan kondisi ini untuk menentukan arah dan kebijakan-kebijakan sendiri, dalam rangka menjaga sustainbility organisasi atau lembaga.

Berbicara kondisi yang tidak menentu ini, wajar mungkin bagi seorang pekerja menuntut hak yang lebih atas pekerjaan yang telah ia emban. Apalagi BBM (Bahan Bakar Minyak) sudah naik. Dan seperti mesin yang otomatis, harga-harga sembako dan kawan-kawannya pun ikutan otomatis naik. Sehingga cost yang dikeluarkan untuk BBM (Biaya Buat Menghidupi) pun juga naik. Tak ayal, ketika seorang pekerja itu mencoba untuk menuntut atau minimal grundel di dalam hati atau di departemennya tentang kenaikan dan kesejahteraan.

Menarik ketika salah seorang Manager cabang datang ke kantor saya. Dan seperti biasa, beliau pasti menyempatkan diri untuk ke ruangan saya yang hanya berukuran kurang lebih 4x5 meter itu. Tapi ya memang ruangan saya bersebelahan dengan ruang Direktur. Hehehe...

Beliau panjang lebar bercerita dan seperti biasanya, apa yang disampaikan beliau pasti mengandung suatu hal yang bagi saya cukup dan bahkan sangat bermanfaat. He tell about life, about work, about relegion, about da'wah, etc. Dan hari ini, kembali... banyak yang beliau sampaikan. Bahkan ketika saya mau menuliskan di sini, cukup panjang saya rasa untuk semua-muanya dituliskan di sini. Belum lagi pegel ngetiknya.

Kalimat yang cukup saya ingat dari cerita yang beliau sampaikan adalah mengenai rasa syukur. Rasa syukur kita kepada Sang Pencipta, Allah SWT.

"Kira-kira, nabi sama kita itu lebih tinggi dan banyak mana amanahnya?" tanya beliau ke saya

"Ya nabi pak. Mereka." jawab saya

"Nah, nabi kan. Apakah mereka mendapatkan gaji? Atau meminta gaji? Tidak kan? Mereka saja amanah dan kedudukannya lebih tinggi, tidak meminta gaji. Seharusnya kita di sini itu bersyukur dengan di kantor ini, mendapat gaji sekian." jawab beliau

"Tapi kan sebenarnya berhak kan jika kita meminta hak kita pak?" tanya saya balik

"Iya. Tapi kan, sebenarnya apa yang kita terima saat ini seharusnya banyak-banyak bersyukur. Bersabar atas apa yang menimpa dan kita terima itu lebih baik dan lebih besar dari apa yang kita dapatkan. Karena apa? Karena kita harus terus berpikir positif dan mengalirkan energi positif itu. Tahu bukunya Renald Kasali, yang "CHANGE" itu?" tanyanya

saya menggangguk, "Iya. Yang CHANGE itu ya. Iya saya tahu pak iku."

"Ya, itu di situ kan dikatakan bahwa dalam DNA itu apabila dialiri energi postif, maka dia akan mengalirkan energi positif itu ke seluruh DNA lainnya. Sehingga kita pun mampu menampilkan energi positif itu untuk lingkungan. Karena energi positif ini akan mampu mengalahkan energi-energi negatif itu. Makanya kan, energi positif kita harus diperbanyak, agar bisa mengalahkan yang negatif itu. Misalnya saja ya, kerjo nanggone wong Chino. Kita digaji, tapi kecil. Gaji sebenarnya bukan yang kita terima. Hanya yang diberikan itu kurang dari yang sebenarnya. Nah, kita trus jangan seperti anak nakal itu. Klo anak nakal ibaratnya kan, apa-apa pengen dipenuhi. Pengen mobil, HP, sepeda motor maunya dipenuhi terus. Kalau nggak dipenuhi, maka dia nggak mau belajar, nggak mau sekolah misalnya. Itu negatif! Kalau seperti itu. Sama dengan yang ini. Bersyukur kita itu isih digaji, meski bukan sebenarnya." lugasnya.

"Lha terus, ketika misalnya saja. Saya di posisi staf HRD. Ketika ada yang komplain terkait dengan gaji atau kesejahteraan, apakah salah ketika saya mencoba untuk menuntut hak itu. Karena itu kan hak mereka pak." tanyaku

"Nah, itu. Buat usulan. Buat proposal pengajuan. Buat konsep terkait dengan itu, ajukan. Jadi bukan malah, kayak anak nakal tadi. Nggak dipenuhi, trus nggak mau sekolah, dll. Coba ditulis, buat konsep, proposal untuk diajukan. Positif klo itu!"
"Coba saja kita renungkan, kita bersyukur bahwa cost yang kita keluarkan itu tidak banyak. Masih banyak hal-hal yang bisa menghemat uang kita dan kita dapatkan secara gratis melalui lembaga ini. Coba kalau pengusaha. Berapa banyak uang, yang harus kita keluarkan, misalnya untuk bertemu seperti ini. Untuk datang silaturami begini. Ngapain saya jauh-jauh ke sini untuk sekedar ketemu misalnya. Mbayar, kalau pengusaha itu! Tapi kalau saya kan, cuman komunikasi. Paling ya telpon saja ke kantor sini. Misalnya saya mau ke sini, tinggal telpon, pinjam mobil. Sudah. Enak, naik mobil, kita sudah tidak mbayari sopir dan nggak beli bensin juga. Kalau pengusaha kan dia harus mbayari bensinnya, sopirnya." jelasnya

"Lho, tapi klo pengusahanya sendiri buat lembaga kayak kita juga pak, gimana itu?" tanyaku lagi

"Lho, misale koyok proyeknya Sampoerna. Sampoerna itu kan masih harus mbayari karyawan-karyawannya untuk digerakkan dalam rangka buat acara-acara, misalnya seperti kita. Mereka harus membayar misale sopir, mendanai semua kegiatan yang akan diadakan. Klo kita? Kita kan tinggal membuat konsep-konsep, proyek, diajukan, uang kan bisa datang sendiri. Klo saya pikir itu... apa yang kita berikan belum sebesar apa yang kita terima. Tapi, apa yang kita miliki, belum sebesar apa yang kita terima. Maksudnya tahu?" tanyanya

Saya pun menggeleng, "gimana maksudnya pak?"

"Maksudnya, apa yang kita berikan belum sebesar apa yang kita terima. Jadi sebenarnya kita di sini digaji itu, apa sih yang sebenarnya sudah kita kontribusikan? Seberapa besar yang sudah kita berikan. Makanya kan, kita harus mencoba untuk membantu apa yang bisa kita lakukan. Apa yang kita miliki belum sebesar apa yang kita terima. Gaji kita itu berapa sih? Kalau dibandingkan dengan apa yang kita terima itu masih jauh lebih besar. Misalnya, saya ke sini, mau membaca-baca buku. Ini kan saya tidak mengeluarkan dana. Coba berapa uang yang harus saya keluarkan untuk membeli buku hanya untuk saya baca ini? Tapi saya kan di sini tidak beli?. Berapa uang yang harus saya keluarkan untuk misalnya baca tafsir yang tebal itu? Saya kan, di sini tidak mengeluarkan uang dan ini saya dapatkan gratis. Saya mau baca buku kayak gini di sini, terus kalau misalnya mau baca tafsir cukup ke kantor sana untuk pinjam dan dibaca. Terus misalnya saya mau pergi ke mana gitu. Cukup saya telpon mbak Lusi, kalau saya mau pinjem mobil untuk pergi misalnya. Itu juga tidak mengeluarkan dana. Sopir juga tidak saya bayar. Gratis. Terus lagi, silaturahim. Secara aturan, tidak diatur kalau saya harus sesekali ngantor di sini. Nggak ada. Tapi,... saya sempatkan untuk datang ke sini. Ketemu Pak Hari, ketemu Pak Kadir, ketemu Asri, ketemu Pak Awie, dan yang lainnya. YDSF itu kan sudah 20 tahun. Dan cabang Malang itu kan baru 6 tahun. Berarti saya sudah tertinggal informasi selama 14 tahun. Dan saya harus mengejar itu. Lha iku sopo yang akan kasih tahu, kalau kita tidak mencari tahu dan tanya-tanya sendiri? Dan ini, gratis. Paling ya hanya komunikasi saja." jelasnya panjang lebar.

"Iya ya pak. Mungkin kita sering tidak menyadari itu ya. Bahwa kita harus banyak bersyukur." jawabku

"Nah, makanya kita harus banyak bersyukur itu. Apa yang kita terima, belum sebesar apa yang kita miliki. Nah, terkait dengan energi positif, kadang saya itu juga mendapati alasan-alasan, misalnya diberi amanah, terus jawabannya 'afwan saya tidak bisa, pekerjaan saya banyak, saya sibuk'. Menurut saya itu salah! Itu negatif!. Kenapa? Misalnya saja begini ada kasus. Pak XXX (--disensor--), dia dikirimi surat, bahwa intinya beliaunya diminta untuk jadi ketua XZY. Terkadan orang lain itu memang tidak tahu posisi kita sekarang ini bagaimana. Tapi jawaban beliaunya cukup baik. Beliau menyampaikan kondisi yang terjadi pada dirinya. Bla..bla...bla... sehingga dalam kondisi begini, saya tidak bisa menerima amanah tersebut. Begitu isinya. Dan itu diterima sama pusat. Coba, kalau misalnya alasannya, 'afwan, tidak bisa karena sibuk, banyak tugas'. Nggak bisa. Malah salah kalau kita menolak amanah yang diberikan. Karena pusat sudah memutuskan. Dan kita harus sami'na wa atho'na. Cuman, kan itu bukan sebuah harga mati. Jika kondisi tidak memungkinkan, kita jelaskan kondisi kita." jelasnya lagi

"Iya ya pak. Cuman terkadang kita itu lebih suka mengatakan, 'afwan, saya nggak bisa..' "

"Makanya itu. Kita belum membiasakan diri dengan hal yang seperti itu. Kita belum terbiasa dengan penjelasan-penjelasan yang sifatnya seperti itu. Adanya kata 'afwan'. Misalnya saja, karena kondisi yang kurang menentu begini. Trus ada yang menuntut haknya. Kan bukan berarti trus tidak bekerja, atau males bekerja. Kan tidak? Seharusnya justru kita sampaikan. Kondisinya begini...begini... buat konsep, ajukan, dan buat surat. Salah! menurut saya, ketika malah males bekerja, trus malah nggak mau kerja. Karena itu negatif. Asri, misalnya dikeluhi teman-teman. Asri terus jangan malah menambahi, 'oiya, aku tak ikut telat aja, misalnya'. Negatif tambah negatif ya malah negatif. Nah, makanya kan kalau bisa, energi positif itu terus kita lakukan. Karena agar nantinya bisa mengimbangi yang negatif itu. Misalnya ada negatif dua puluh (-20), terus Asri punya energi positif dua lima, misalnya. Lha paling tidak kan tersisa positif lima (+5). Lha kalau misalnya ada negatif dua puluh (-20) terus Asri menambahi negatif lima (-5) saja, kan malah negatifnya tambah." lugasnya.

Yah, beberapa scrip percakapan di atas adalah didasarkan pada memori yang masih ada. Dan sebenarnya masih banyak dan panjang lagi perbicangan kita. Tapi, di sini yang akan saya ambil adalah betapa kita terkadang atau sering lupa bahwa kita harus banyak-banyak bersyukur atas apa yang diberikan Allah SWT. Karena hidup adalah untuk ibadah kepada-Nya semata. Sudah sewajarnya dan seharusnya kita terus mengingat keagungan dan betapa banyak kenikmatan-kenikmatan yang kita dapatkan secara gratis-tis dari Allah. Dan dalam konteks ini, Allah pun tidak meminta balasannya baliknya. Justru kita lah, sebagai hamba-Nya yang dhoif harus merasa bahwa kita kecil dihadapan-Nya, kita miskin dan tidak punya apa-apa. Karena semuanya hanya milik Allah semata. Tidak perlu lagi kita mengeluh, tidak perlu lagi kita suloyo, tidak perlu lagi kita banyak protes atas kondisi yang sedang kita hadapi dan yang menimpa kita. {}

Terima kasih pak Arief. Njenengan kasih saya inspirasi untuk merefreshkan kembali otak saya. Matur suwun. Semoga Allah memberi banyak kebaikan. Amiin.


"Dan sekiranya kamu menghitung nikmat Allah, niscaya tidak dapat menghitungnya. Sesungguhnya Tuhan itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang." (Surah an-Nahl, ayat 18)

2 komentar:

Sri Wahyuni Lestari mengatakan...

waduh kak...langsung ku kopipaste saja ke flash. . bagus sekali. . ada lagi?
oya salam kenal dari saya. . anak batam.

Anonim mengatakan...

wa'alaykumsalam wr wb
. yups, silahkan aja ambil gpp. di bawah kan ada tulisannya. silahkan aja klo mo copy paste atau menyebarkannya.

Posting Komentar