INFO

DALAM RANGKA TAHUN BARU MASEHI #2012: BLOG SEDANG DIPERMAK ULANG.

Fenomena Geng Nero=Perilaku Bullying

Written By Informasi singkat tentang saya on Sabtu, 28 Juni 2008 | 22.14

Pertengahan Juni 2008 lalu, media sempat dikejutkan dengan salah satu berita mengenai kekerasan yang dilakukan oleh para remaja putri di Pati, Jawa Tengah. Kelompok yang menamakan dirinya dengan Geng Nero (neko-neko dikeroyok) ini semuanya masih duduk di kelas 1 SMA. Mereka masih tergolong remaja.

Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan mungkin bagi kita, yang sebelumnya tidak pernah mengira bahwa akan ada kekerasan yang dilakukan oleh remaja putri. Kekerasan yang dilakukan oleh anak laki-laki, mungkin sudah biasa bagi kita, bahkan tawuran pelajar kerap mewarnai berita-berita di media masa atau telinga kita. Namun, geng ini sepenuhnya adalah perempuan.

Hanya karena persoalan sepele, ada sedikit kesalahan, atau ingin menjadi anggota geng ini, anak kerapkali mendapat ujian atau hukuman. Kenapa bisa sampai sedemikian? Video yang menunjukkan rekaman hukuman serta kekerasan yang dilakukan cukup mengejutkan dan menjadi salah satu bukti polisi untuk melakukan penangkapan terhadap para pelaku atau anggota geng Nero. Video bisa diklik di sini.

Fenomena Geng Nero, lebih banyak diberitakan di media sebagai bentuk kekerasan diantara remaja putri. Banyak pula yang berpendapat bahwa mereka adalah anak yang kurang perhatian, anak yang perlu dijauhi. Bahkan ada yang tidak percaya jika yang melakukan hal ini adalah para remaja putri dan ada juga yang merasa heran, kenapa hanya masalah sepele saja bisa sampai sedemikian rupa?

Perlu diketahui bahwa, banyak macam kekerasan yang ada di sekitar kita. Kekerasan bisa berbentuk fisik (memukul, menendang), verbal (melecehkan, menghina, memberi julukan), ataupun psikologis/sosial. Kekerasan yang biasa kita temui di sekitar kita adalah berupa kekerasan yang nampak atau kebanyakan berupa pemukulan, yakni tawuran antar pelajar. Itu kekerasan yang seringkali kita temui.

Bahkan adanya tawuran pelajar ini, pemerintah sendiri pun nampaknya sudah mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait dengan pencegahan tawuran pelajar. Meskipun, di lapangan tawuran masih kerap terjadi. Dan biasanya memang karena dipicu oleh hal-hal yang sepele, karena persoalan cewek, mengejek, atau lainnya.

Salah satu kekerasan di sekitar kita yang terjadi, selain tawuran, muncul sebuah istilah lain, yakni bullying. Istilah ini, sebenarnya sudah lama ada dan dipakai terutama di luar negeri. Sudah banyak kajian-kajian, diskursus yang membahas perihal bullying di luar negeri. Namun, di Indonesia sendiri masih jarang. Bahkan penelitian pun masih terbatas. Salah satu LSM yang konsen melakukan penelitian ini adalah Yayasan SEJIWA (Semai Jiwa Amini).

Di Indonesia, kadang istilah ini disebut dengan gencet-gencetan, senioritas, dijejer, dll. Namun, menurut Iqbal, 2008 (mantan anggota SEJIWA), kata bullying tidak bisa mewakili istilah-istilah tersebut. Karena bullying ini sifatnya lebih luas. Sehingga pengenalan pun akan tetap menggunakan istilah ini.

Bullying diartikan sebagai bentuk-bentuk perilaku di mana terjadi pemaksaan atau usaha menyakiti secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang ataupun sekelompok orang yang lebih 'lemah', oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih 'kuat' (Ma, Stein & Mah, 2001; Olweus, 1991; Rigby, 1999). Menurut akademis Australia, Ken Rigby menyatakan bahwa tindakan bullying itu termasuk bertujuan untuk melukai, adanya tindakan untuk melukai, kekuatan yang tidak seimbang, biasanya terjadi berulang-ulang, ketidakadilan kekuasaan, kesenangan dinikmati oleh agreasor dan pada umumnya perasaan tertekan ada pada korban (Rigby, 2002).

Sedangkan menurut Besag (1989), bullying atau peer-victimization didefinisikan sebagai sebuah situasi di mana seorang anak atau sekelompok anak secara berulang-ulang melakukan tindakan kekerasan yang disengaja melukai orang lain dalam hubungan kekuatan yang tidak seimbang. Menurut Mellor, 1928 bullying itu sebagai kekerasan jangka panjang, baik mental maupun fisik, yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap individu yang tidak mampu mempertahankan dirinya sendiri dalam situasi yang tiba-tiba (actual situation).

Secara umum, kesimpulannya sebuah perilaku termasuk dalam perilaku bullying apabila:
  1. Perilaku tersebut dimaksudkan untuk melukai;
  2. Perilaku tersebut dilakukan secara berulang-ulang, baik suatu waktu tertentu atau random tetapi dalam satu rangkaian;
  3. Adanya ketidakseimbangan kekuatan (imbalance power) antara pelaku dan korban;
  4. Pelaku dan korban bisa satu atau kelompok;
  5. Munculnya pengalaman terlukai oleh korban, baik eksternal (fisik) dan/atau internal (psikologi).
Dari kasus geng Nero di atas, kenapa seorang remaja bisa sedemikian sensitif dan sedemikian kejamnya? Ada beberapa aspek yang berhubungan dengan hal ini.

1. Anggota Geng Nero adalah Remaja

Masa remaja merupakan masa sensitif. Bisa dibilang seperti itu. Pada masa ini, remaja mengalami kebingungan dalam mencari identitas. Menurut Erikson, tahapan remaja usia 12-20 tahun sedang berada pada tahap pencarian identitas vs kebingungan peran (ego identity vs role confusion). Menurut Faudzil Adhim, anak remaja seharusnya tidak perlu kehilangan identitas apabila sewaktu kecil mereka sudah dididik sejak dini untuk menemukan identitasnya. Kelak seperti apa mereka besar. Penanaman moral akhlak dan nilai-nilai (value) keluarga harus sudah tertanam sejak dini. Aspek yang akan diulas dalam hal ini adalah aspek emosi dan sosialnya.

Aspek emosi. Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Mencapai kematangan emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Dalam menghadapi ketidanyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja yang mereaksinya secara defensif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya. Reaksi yang diberikan biasanya tampail dalam tingkah laku maladjustment, seperti: (1) agresif: melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi dan senang mengganggu; dan (2) melarikan diri dari kenyataan: melamun, pendiam, senang menyendiri, dan meminum minuman keras atau obat-obatan terlarang. (Santrock, 2002).

Aspek Sosial. Pada masa ini, juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran, atau keinginan orang lain. Peer group, pembentukan kelompok, membuat kelompok-kelompok yang sama dengan karakteristik dirinya, ingin menonjolkan kelompok mereka, merupakan masa perkembangan di usia-usia ini. Keinginan untuk bisa sama dengan yang lain, untuk bisa diterima oleh suatu kelompok cukup tinggi. Maka, tidak heran jika terkadang seseorang akan bersedia melakukan apapun, selama ia bisa diterima oleh kelompok tersebut. Karena rasa ingin diakui cukup tinggi pada masa-masa ini. Karena bagi sebagian orang, mereka yang akan dikucilkan oleh kelompok merupakan hal yang dapat menyebabkan stress, frustasi, dan rasa sedih (Santrock, 2001).

2. Aspek yang mempengaruhi adanya perilaku bullying
Ada beberapa aspek yang mempengaruhi perilaku ini. Dilihat dari teori Ekologi Bronfenbrenner, bahwa individu itu, dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Begitu juga orang-orang yang terlibat didalamnya (pelaku, korban, penonton/bystander) senantiasa selalu dipengaruhi oleh lingkungannya. Menurutnya, lingkungan itu terbagi menjadi 5, yakni: (1) Mikrosistem. Merupakan level yang paling dasar dan paling sering anak berinteraksi. Misalnya keluarga. Dalam hal bullying, mencakup status anak dalam kontinum bully-korban. (2) Mesosistem. Antara elemen-elemen di mikrosistem saling berkaitan. Misalnya adanya hubungan antara orang tua dengan pihak sekolah dalam meonitor anak. Dalam hal ini adanya kesamaan berpikir antara pihak sekolah dan orang tua dalam melihat perilaku bullying. (3) Eksosistem, termasuk pengaruh dalam konteks lainnya, misalnya efek dari kebijakan bullying yang dimiliki pemerintah atau keikutsertaan orang tua dalam sistem sekolah. (4) Makrosistem. Pengaruh dari aturan-aturan budaya, seperti sikap masyakarat terhadap perilaku bullying. dan (5) Kronosistem, lebih luas dari itu.

Sistem yang paling banyak diteliti adalah level mikrosistem. Karena bagian ini adalah bagian paling dasar. Dalam mikrosistem, ada keluarga, ada sekolah, ada lingkungan sekitar/tetangga. Pola asuh dalam keluarga bisa menjadi salah satu pemicu munculnya perilaku ini. Apakah nantinya kelak anak akan menjadi individu yang agresif atau tidak. Kurangnya perhatian kasih sayang terhadap anak, modelling dari perilaku agresif di rumah, serta kurangnya pengawasan terhadap anak akan memungkinkan munculnya perilaku agresif dan bullying pada anak (Suderman, Jaffe, & Schiek, 1996).

Maka dari itu, kita harus menyadari bahwa sebenarnya perilaku ini sudah sering berada di sekitar kita. Kasus Geng Nero, bagi kita mungkin hal biasa. Akan tetapi apabil kita tidak wasapa, dan bahkan mengabaikan atau menjadi bagian yang mengacuhkan, maka secara tidak disadari kekerasan tersembunyi seperti ini hingga akhirnya sampai ke kriminal dimungkinkan.

{tulisan tentang bullying bersambung lagi Insya Allah}

3 komentar:

Anonim mengatakan...

bahasan sama meski lebih sederhana temukan di www.sighuraba.wordpress.com

Anonim mengatakan...

terima kasih banayak bahsana di blog nya..sangat membantu menginspirasi untuk mengerjakan tugasku..
^^
sering2 ngepost yang berhubungan dengan psikologi ya..

Lia mengatakan...

boleh minta dftr pustakanya?? Untuk lebih jelas lagi..

Posting Komentar