INFO

DALAM RANGKA TAHUN BARU MASEHI #2012: BLOG SEDANG DIPERMAK ULANG.

Anak Muda, Pak Tua, dan Rumah Peradaban

Written By Informasi singkat tentang saya on Kamis, 10 Januari 2008 | 18.43

Cerita berkisah percakapan antara seorang anak muda dan seorang pak tua. Anak muda ini melihat ada sebuah rumah yang sudah hampir roboh, dan ia melihat pak tua masih saja memunguti puing-puing genting yang dirasa sudah banyak yang berjatuhan karena retak dan pecah.


Terlihat genting-genting yang menjadi penutup pun pula berjatuhan dan retak,
Terlihat tiang-tiang sebagai penyangga pun mulai retak juga dan bahkan ada yang sudah patah,
Tidak banyak memang penghuni rumah itu,
Tapi dari rumah itu sudah banyak lahir anak-anak yang kini memimpin bangsa.

Melihat semua itu, anak muda bertanya kepada pak tua itu
"Pak, saya tidak punya rumah yang bagus seperti itu. Sepertinya rumah ini nyaman untuk ditempati."

"Nak, seperti yang kau lihat sendiri. Rumah ini sudah mulai roboh."

"Apakah aku diperbolehkan untuk membantumu menegakkan kembali rumah ini?"

"Nak, benarkah apa yang kau ucapkan? Apakah kamu bersemangat ingin membantuku menegakkan rumah ini karena kamu tidak memiliki rumah?"

"Tidak pak. Tidak sekedar itu. Kalau hanya sekedar itu, rumahku luas. Setiap hari aku beratap langit dan beralaskan bumi. Jika hujan, aku berlindung di bawah pohon atau gubuk di sawah atau menumpang tepian rumah orang. Sekedar menghangatkan tubuhku."

"Jadi apa keinginanmu untuk membantuku menegakkan kembali rumah ini?"

"Karena aku melihat rumah ini telah melahirkan banyak sekali pemimpin-pemimpin bangsa. Di sini pula ayahku pernah dilahirkan. Dan kini ia sudah tiada. Hanya satu pesan yang ia tinggalkan, carilah rumah peradaban itu. Mungkin di saat engkau mendapatkan, bisa jadi rumah itu hampir saja roboh, karena penghuninya sudah mulai tak memperhatikan lagi. Karena penghuninya sudah mulai pergi satu per satu dengan melihat rumah itu yang semakin lama semakin tua. Karena penghuninya hanya sedikit orang saja yang bersedia tetap tinggal dan senantiasa menambal sana-sini untuk mempertahankan agar rumah ini tetap berdiri. Meski harus berkorban harta yang mereka miliki, bahkan jiwa sekalipun."

"Nak, sungguh anak muda sepertimu yang seharusnya mengisi setiap ruang kehidupan. Nak, jangan pernah engkau urungkan niatmu untuk membangun sesuatu ketika engkau sudah berucap bahwa engkau akan membangunnya. Jangan pernah engkau berpikir untuk pindah ke tempat lain di saat engkau belum mampu meninggalkan apapun. Jangan pernah berpikir bahwa engkau mengkhianati perjanjian-perjanjian yang ada di dalam rumah ini. Jangan pernah engkau pergi tanpa meninggalkan sesuatu, sekalipun hanya kobaran semangat untuk generasi berikutnya. Sekalipun satu kalimat saja."

"Pak, bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu?"

"Silahkan anakku."

"Kenapa orang yang setua engkau masih saja di sini dan malah ingin menegakkan kembali rumah ini? Bukankah seharusnya engkau sudah waktunya untuk pindah dari sini? Karena rumah ini akan runtuh?"

"Hanya semangat baru dan semangat muda seperti engkaulah yang kemudian membuatku betah dan bersabar untuk tetap menegakkan rumah ini. Bukan persoalan apakah aku sudah tua dan engkau masih muda. Tapi yang terpenting adalah semangat yang aku miliki senantiasa semangat baru dan semangat muda. Aku mencoba terus menerus agar semangat mudaku tidak luluh dan hanyut begitu saja oleh terpaan angin."

"Pak, kemana penghuni yang lain? Apakah memang hanya bapak dan dua orang itu saja?"

"Tidak Nak. Sebenarnya dahulu banyak yang menghuni di rumah ini. Namun, seiring dengan perjalanan waktu yang terus berlalu, rumah juga sudah mulai kelihatan kotor, retak, dan sudah tidak indah lagi, sebagian besar mulai meninggalkannya. Diantara mereka ada yang pergi karena ingin membangun rumah peradaban yang baru. Sebagian mereka berpindah ke rumah peradaban yang lain. Sebagiannya lagi masih tetap di sini membantu kembali menegakkan rumah ini."

"Apakah ketika mereka pergi dari sini, meninggalkan sesuatu?"

"Sebagian iya, dan sebagian tidak. Beberapa diantara mereka mengatakan 'Aku harus keluar dari rumah ini, karena sudah waktunya aku keluar dari sini dan turut kembali membantu membangun rumah peradapan di tempat lain. Karena kondisi kalian masih lebih baik dari mereka.' Dengan meneteskan air mata, beberapa diantara mereka saling berwasiat dan memberi semangat. Beberapa yang lain lagi diantara mereka, ada yang mengatakan, 'Aku harus keluar dari sini, karena rumah ini sudah jelek dan tidak layak pakai. Aku harus mencari tempat berteduh lain agar aku bisa berkarya. Dan sebaiknya kita juga pergi dari sini. Atau kalau tidak, silahkan kalian bangun kembali rumah ini sendiri.' Mereka kemudian pergi begitu saja tanpa kabar dan peninggalan apapun, sekalipun hanya sekedar nasihat ataupun semangat. Dan beberapa terakhir, mereka mengatakan, 'Aku akan turut kalian membangun dan menegakkan kembali rumah peradaban ini. Karena aku menyakini bahwa suatu saat rumah ini akan kembali kokoh dan ramai kembali.

Suatu saat rumah peradaban ini akan dikenal dunia dan menjadi salah satu saksi bahwa rumah ini adalah rumah peradaban yang melahirkan para pemimpin bangsa yang mampu mengangkat dan menegakkan kembali wibawanya di mata bangsa yang lain.
Rumah yang melahirkan para pemimpin bangsa ini harus terus dilestarikan dan ditegakkan. Sekalipun suatu saat nanti aku harus pergi dan tiada lagi di dunia ini. Tapi aku yakin, bahwa akan terus ada generasi penerus setelahku yang mereka tak akan melupakanku. Sekalipun lupa, minimal aku bangga dapat menjadi bagian dari penegakan kembali rumah peradabann ini.' Dan mereka itulah kita bertiga di sini dan sekarang yang anak muda lihat.'


Sragen, 16 September 2007
22.20 WIB
di sebuah keheningan malam di tengah suara tilawah dari musholla kecil

0 komentar:

Posting Komentar