Pada hakekatnya, gerakan feminisme adalah isu kaum perempuan kelas menengah yang ingin membebaskan diri dari pekerjaan-pekerjaan rutin rumah tangga. Hal ini tampak dari buku Betty Friedan The Feminine Mystique (1963), yang mencoba untuk mengkampanyekan isu persamaan kekuasaan, dan buku Juliet Mitcher Women’s estate (1971) yang menyatakan bahwa motherhood is slavery (tugas yang diemban para ibu rumah tangga merupakan perbudakan). Bahkan Millet dalam bukunya Sexual Politics mengatakan bahwa lembaga keluarga adalah old age evil (setan tua). Gerakan ini lahir pada era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Pada saat menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Meskipun para feminisme mempunyai kesadaran yang sama mengenai ketidakadilan gender, menurut Yunahar Ilyas, mereka berbeda pendapat dalam sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam perjuangan mereka. Perbedaa perspektif inilah yang kemudian melahirkan empat aliran utama, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Marxis, dan feminisme sosialis.
Bidang garap dan isu yang digaungkan oleh gerakan ini cukup banyak. Menurut telaah Kristi Switala, kreator dan editor dari Feminist Theory website, bidang garap feminisme amat luas, mencakup urusan seni dan estetika, antropologi budaya, kesehatan fisik dan psikologis, media komunikasi, sejarah, ekonomi, dan politik. Selain itu bidang hukum dan persamaan hak, termasuk kaum lesbian juga menjadi bidikan mereka. Wacana gender dalam agenda feminisme kontemporer banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Berikut ini akan dikupas terkait dengan pengaruh gerakan ini dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan Data Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) 1999-2000 menyebutkan, sebanyak 54% perempuan di Indonesia hanya sempat mengenyam pendidikan SD, 19% lulusan SMP, dan 27% lulusan SMA. Sedangkan yang mengenyam bangku perkuliahan (Perguruan Tinggi) masih sedikit. Adanya pembedaan hak bagi kaum perempuan, mendasari gerakan ini mulai menggarap isu dan gagasan dalam dunia pendidikan.
1. Feminisme Liberal
Feminisme ini menyatakan bahwa kebebasan dan keseimbangan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dasar perjuangannya adalah menuntut kesempatan dan hak sama bagi setiap individu. Aliran ini dipengaruhi oleh teori struktural fungsionalisme. Aliran ini tidak melihat struktur dan sistem sebagai pokok permasalahan. Menurut aliran ini, ketika ditanyakan ’Mengapa kaum perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal?’. Menurut aliran ini, hal ini disebabkan karena kesalahan ”mereka sendiri”. Artinya, ketika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan, tetapi ternyata kaum perempuan tersebut kalah dalam bersaing, maka kaum perempuan itu sendiri yang perlu disalahkan (Narwoko & Suyanto, 2004: 328 dalam buku Sosiologi). Kaum feminisme ini mengusulkan pemecahan masalah ini dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas (Tong, 1983 dalam Ichromi, 1995: 83).
Pengaruh dari adanya gerakan ini dalam pendidikan di Indonesia, antara lain:
- Banyaknya program-program pengembangan perempuan dalam pembangunan (women in developmen), yaitu dengan menyediakan ”program intervensi guna meningkatkan taraf hidup keluarga seperti pendidikan, ketrampilan”, serta ”kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan perempuan sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan”. Feminisme ini tidak pernah mempersoalkan terjadinya diskriminasi sebagai akibat dari ideologi patriarki (Fakih, 1997 dalam Narwoko&Suyanto, 2004: 328).
- PT. Medco E & P Indonesia, yang memberikan bantuan kredit mikro, terkait dengan pendidikan ketrampilan. Sasarannya dalah kaum perempuan. Alasan ini bukan tanpa sebab. Menurut Frista Yusra dari dividi community development PT.Medco E & P Indonesia, bahwa perempuan memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam keluarga. ”Sifat para ibu, jika mereka mendapatkan uang maka seluruhnya digunakan untuk memnuhi kebutuhan rumah tangga. Selain itu, mereka juga berperan dalam pendidikan anak.”
- Banyak diantara kaum perempuan yang kini menapaki jenjang pendidikan tinggi, bahkan sampai Perguruan Tinggi atau bahkan meraih gelar doktoral. Semakin banyaknya jumlah perempuan, semakin banyak pula, kini kaum perempuan mengenyam pendidikan. Terlepas dari ketidakmampuan ekonomi untuk biaya sekolah.
- Banyaknya kesempatan yang tersedia, bagi perempuan yang mau menjemput kesempatan ini, menyebabkan ranah untuk menjadi ilmuwan pun diisi oleh perempuan. Misalnya saja Utami Retno Kadarwati lulusan S-2 di Coastal and Geoscience and Engineering, Kiel University, Jerman. Ia merupakan peneliti dari Indonesia yang bergabung dengan para peneliti dari Australian Antartic Division (AAD) dalam penelitian Heard Island prey Investigation Studies (HIP-PIES), akhir 2003 – Februari 2004 lalu. Hal menunjukkan bahwa tidak ada halangan bagi kaum perempuan untuk menjadi peneliti atau ilmuwan.
- Timbul banyaknya kesadaran dalam masyarakat untuk memasukkan anak ke sekolahnya bahkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, tidak hanya kepada mereka yang laki-laki tapi juga kaum perempuan.
- Wilayah-wilayah yang dulu sering dipenuhi oleh laki-laki, misalnya Pendidikan Jurusan Teknik, sudah bukan area yang diperuntukkan bagi kaum laki-laki saja. Akan tetapi para perempuan sudah mulai banyak memasuki atau memilih jurusan ini. Misalnya saja Teknik informatika, komputer, dan seterusnya.
2. Feminisme Marxis
Gerakan ini memandang hak kepemilikan pribadi yang diusung kapitalisme adalah penyebab kehancuran. Oleh karena itu mereka berjuang untuk memutuskan hubungan dengan kapitalisme. Mereka menentang keyakinan kaum feminisme radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Aliran ini beranggapan bahwa patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi justru sistem kapitalisme yang menjadi penyebabnya. Sehingga emansipasi perempuan, menurut aliran ini terjadi jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga.
Pengaruh dalam pendidikan di Indonesia;
- Banyaknya anak atau siswa didik yang kurang mendapat perhatian dari orang tua. Terutama ibu. Mereka lebih banyak menampakkan dirinya sebagai wanita karier daripada seorang ibu. Peran ibu yang sebenarnya sangat signifikan bagi pendidikan anak dan negara, kini tersisihkan.
3. Feminisme Radikal
Gerakan ini menentang keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Sebab semua ini dianggap sebagai pangkal penindasan terhadap perempuan. Para penganut aliran ini, mereka tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis, sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, akar permasalahannya pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya (Amal, 1995 dalam Ichromi, 1995: 93).
Pengaruh dalam dunia pendidikan:
- Salah satu subyek penelitian skripsi Mahasiswi semester akhir Psikologi Unair, yang berjudul Politik Identitas Feminisme di Surabaya, menyatakan bahwa dia tidak akan menikah. Dalam dunia pendidikan, hal ini dapat menyebabkan turunnya kualitas anak serta generasi penerus bangsa. Bayangkan saja, apabila tidak menikah, orang tidak akan memiliki anak. Di mana anak adalah aset bangsa, yang apabila dididik maka akan menjadi generasi yang unggul dan berkualitas. Siapa yang akan menjadi penerus bangsa ini?. Selain itu, secara tidak langsung, ketika lesbian marak hal ini akan memberikan pengaruh pada pendidikan dan perkembangan anak. Di satu sisi, bagus bahwa mereka akan berpikir bahwa perempuan harus sekolah tinggi dan kaya serta mandiri. Karena itu nanti jika sudah mampu tidak perlu menikah akan tetapi di sisi yang lain hal ini akan berakibat buruk pada yang lainnya. Menjadi ketua kelas bukan lagi ”kewajiban” bagi laki-laki. Tapi perempuan pun bisa menjadi ketua kelas. Bahkan terkadang kondisi laki-laki terlihat ”subordinat’ daripada perempuan, terjadilah penghinaan, pelecehan, sikap sombong bahwa ’aku bisa’ terhadap laki-laki. Di lingkungan sekitar saja (kampus Psikologi Unair), pernah penulis dapati cerita, para mahasiswi lebih menganggap remeh dan merendahkan laki-laki, ketika mereka merasa bahwa dirinya bisa. Akibatnya posisi sebagai ”laki-laki’ seperti terambil alih oleh perempuan, dantentu ini akan berakibat kurang baik pada aspek laki-laki terutama psikologisnya.
4. Feminisme Sosialis
Aliran ini mencoba untuk mensintesiskan berbagai perspektif feminisme dengan menyatakan bahwa subordinasi perempuan hanya bisa dijelaskan dengan uraian yang kompleks dan membingungkan. Asumsi yang digunakan gerakan ini adalah bahwa hidup dalam masyarakat yang kapitalis bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan perempuan sebagai perempuan (Amal, 1995 dalam Ichrom, 1995: 105). Penganut aliran ini, menerima dan menggunakan prinsip dasar Marxisme dan memperluasnya dengan bidang yang selama ini diabaikan teori Marxis konvensional dengan menggabungkan feminis radikal dan feminis Marxis (Bhasin, 1996: 38).
Secara umum, pengaruhnya dalam pendidikan adalah:
- Mereka meminta adanya kurikulum dalam dunia penddidikan mengenai adanya sosialisasi perbedaan gender.
- Perlunya pemberdayaan perempuan
- Ranah-ranah atau jurusan-jurusan dalam perguruan tinggi rata-rata perempuan bisa masuk atau mengambilnya. Termasuk jurusan teknik.
- Penghilangan diskriminasi gender di dunia pendidikan, terutama dalam hal stereotipe yang biasa berkembang dalam masyarakat. Misalnya, seperti perlakuan yang berbeda antara siswa putra dengan putri.. Laki-laki jika tidak bisa, mereka lebih dipandang bahwa mereka tidak bisa karena malas, dan pada dasarnya laki-laki itu pandai. Sebaliknya, perempuan tidak bisa karena memang pada dasarnya perempuan itu bodoh.
- Perempuan dapat meraih pendidikan setinggi apa yang mereka mau. Bahkan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa ke Luar Negeri pun sekarang ini banyak didapat oleh kalangan perempuan.
- Semakin lama, posisi laki-laki akan bisa tersingkir. Baik dalam pendidikan maupun dalam dunia kerja. Yang akhirnya akan menyebabkan, fitrohnya laki-laki sebagai pemimpin akan tergeser oleh perempuan. Dan bisa jadi, laki-laki yang akan menjadi tersubordinat, berada di bawah perempuan.
- Karena gerakan ini feminisme, akan dapat mempengaruhi dan bisa jadi akan memicu munculnya diskriminasi laki-laki dari perempuan serta tentu akan lebih membela dan membenarkan sikap perempuan daripada laki-laki.
0 komentar:
Posting Komentar