***
Prolog berita di atas, sedikit saya uraikan sebagai prolog tulisan yang hendak saya tumpahkan di sini. Pagi hari, sekitar pukul 08.30, saya masuk ke sebuah ruangan kantor yang biasa kita namai RSG (Ruang Serba Guna). Awalnya saya hanya ingin mencari charger Nokia yang kebetulan HP CDMA saya sudah mati, karena drop battrenya.
Di ruangan seluas 2,75 m x 4,5 m itu saya mendapati seorang laki-laki separo baya berbaju coklat muda, dengan berkantong dua di kanan dan di kiri dadanya. Dia adalah Pak Rukmin. Sopir MMS (Medical Mobile Service) milik kantor kita PLASMA-YDSF.
“Lhoh, ada Pak Rukmin.” Tanyaku ketika memasuki ruangan itu.
Dari sepotong pertanyaan itu, saya mendapati charger yang saya cari, dan akhirnya saya pun duduk. Pak Rukmin kemudian bercerita mengenai apa yang dia lalui selama 1 hari ke Situbondo. Kebetulan dia sopir yang mengantarkan bantuan ke Situbondo.
Cerita pun mengalir satu persatu dari peristiwa yang ditemuinya selama mengantarkan bantuan.
“Di sana itu mbak, sebenarnya banjirnya sudah nggak lagi. Airnya itu lho. Tapi gantian lumpur sekarang. Kan sisa dari banjir kemaren itu.” Kata Pak Rukmin sambil memegangi majalah olahraga yang dibacanya.
“Mencapai berapa pak tingginya itu?” tanyaku
“Segini lho mbak.” Sambil menunjukkan tinggi lumpur pada kakinya.
“Jadi nggak ada mbak, kendaraan yang di sana itu bersih. Semuanya wis kotor semua mbak. Mobil saya aja (baca: MMS kantor) kotor sekali. Ada becak kemaren itu, wis nggak rupo becak mbak. Iku ae mari diangkat karena becake wis kayak gitu.” Ungkapnya.
Saya pun terus manggut-manggut, tanda saya memperhatikan cerita demi cerita yang dia katakan. Yang lebih saya salut lagi pada dia adalah ketika dia bercerita mengenai pelajaran yang hendaknya bisa kita ambil melihat kejadian itu semua.
“Seharusnya mbak, ada atau tidaknya banjir, daerah itu memang daerah yang sangat membutuhkan dan memprihatinkan. Dulu aja mbak, yang pas gempa. Kan sama di Situbondo. Kan pernah saya nyopiri bareng sama pejabatnya YDSF ke sana. Rata-rata yang di desa itu kan rumahnya kayu-kayu gitu. Trus sampingnya gedheg* gitu mbak. Trus di situ ada rumah yang bagus, ya tembok gini lah mbak. Lha kok pas gempa, rumah itu yang pertama kali yang kena. Trus yang lain-lainnya, yang rumah kayu itu tadi nggak pa pa.”
“Pas saya ke sana itu, saya tanya lha itu rumahnya siapa? Katanya rumahnya TKW. Kan bayangkan aja mbak. Satu rumah yang bagus di tengah-tengah rumah yang kayu-kayu, gedheg kayak gitu. Lha pas gempa, ya itu pertama kali yang malah kena.”
“O... gitu ya pak.” Kataku
“Dulu yang pas saya sama pejabatnya YDSF itu mbak, di sana itu mbak karena daerahnya itu padas mbak. Nggak ada air. Ada sumur aja itu sampe 100 meter mbak. Nariknya itu nggulung gitu mbak. Lha setelah diangkat, sudah dalem dilihat airnya cuman dikit. Trus mau wudhu mbak airnya itu coklat. Klo orang desa gitu kan biasa ya, karena nggak ada air. Lha kita orang kota kan nggak biasa. Apalagi pak Kadir, levelnya tahu banget ilmunya suci apa nggaknya. Sampe begini mbak, ya sudah pak Kadir mau wudhu apa nggak, ada airnya kayak gitu.” Tandasnya.
Saya masih dengan setianya mendengarkan cerita yang keluar darinya. Karena bagi saya ceritanya sangat menarik, hingga akhirnya saya memutuskan untuk saya tulis di sini.
“Kalau bagi saya ya mbak. Kayak gitu itu seharusnya menjadi perhatian kita. Mungkin Allah itu hendak menginginkan kita, ‘tengoklah saudara-saudaramu yang di sana’. Seharusnya ada banjir ataukah tidak memang daerahnya perlu diberi bantuan mbak. Coba saja mbak. Misalnya, di sana ada banyak yang muslim dan agamanya kuat. Tapi mushollanya cuman satu. Dan itu sudah lama gitu mbak. Bangunan yang bagus kan seharusnya bisa kuat kalau ada tiang penyangga yang ada besinya itu mbak. Paling nggak empat sampai enam lah. Lha ini enggak mbak. Penyangganya ya, tiang biasa, kayu yang sudah jelek gitu. Trus temboknya ya sudah kelihatan tua gitu. Jadi kan klo misale pas ada gempa kemaren ya dia rusak. Lha ini, bagi saya kayaknya Allah itu hendak mengingatkan kepada kita agar menengok ke sana. Eh, di sana lho ada yang membutuhkan. Di sana lho ada yang kekurangan.” Kata Pak Rukmin yang tetap terlihat duduk dengan tegapnya.
***
Yah, Allah tentu tidak akan mungkin memberikan sesuatu yang tidak berguna. Musibah sekalipun itu. Musibah, bencana, sakit merupakan ujian dan peringat yang diberikan Allah kepada makhluknya, agar kembali kepada jalan-Nya yang benar. Peristiwa demi peristiwa yang kita temukan semoga bisa menjadi sebuah cerita tersendiri buat diri kita untuk kemudian tidak kita biarkan begitu saja. Akan tetapi mari kita maknai dan ambil pelajarannya untuk perbaikan diri dan umat.
Allah tentu tidak akan rela ketika ciptaan-Nya dirusak oleh tangan-tangan dzalim yang tidak mau bertanggungjawab. Allah tentu tidak akan rela, ketika hamba-hamba-Nya yang taat dan rajin beribadah kepada-Nya dan miskin, kemudian tidak diperhatikan oleh mereka-mereka yang kaya dan berkecukupan. Cerita di atas merupakan cerita nyata yang dimiliki oleh Pak Rukmin, sopir kantor saya (PLASMA-YDSF). Adalah benar saya kira, apa yang disampaikan Pak Rukmin. Bahwa bisa jadi Allah hendak menegur kita dengan adanya bencana tersebut, bahwa ternyata di sana ada yang masih membutuhkan. Di sana masih ada yang kelebihan, namun tidak peduli dan hidup kaya di tengah-tengah kemiskinan masyarakat. Allahua’lam bishowab.
______________
*gedheg: dinding yang terbuat dari bambu tua yang dijalin. Biasanya mereka yang hidup di pedesaan dan termasuk ekonomi ke bawah, biasa dinding mereka terbuat dari bambu.
0 komentar:
Posting Komentar