INFO

DALAM RANGKA TAHUN BARU MASEHI #2012: BLOG SEDANG DIPERMAK ULANG.

Berikan GARANSI bahwa "kamu bisa lakukan itu!"

Written By Informasi singkat tentang saya on Selasa, 01 April 2008 | 09.08

Sebagai aktivis dakwah, selalu saja kita mendapati partner kerja kita yang merasa dan mengatakan. "saya nggak bisa ukhti/akhi?", "saya nggak kafaah ukh/akh?", dan sebagainya sebagai bentuk defense dari sang kader ketika diberikan amanah atau mendapat tugas yang sifatnya "berlebih" atau "sedikit naik tingkat" atau "menantang".

Adalah benar bahwa seorang kader dakwah itu haruslah bisa bekerja secara profesional (itqon) dan sesuai dengan kemampuan, kapabilitas (kafaah). Namun, sebenarnya tidak menutup kemungkinan bahwa organisasi yang kita tempati saat ini merupakan wadah atau ada yang menyebutnya laboratorium uji coba untuk kita belajar. Belajar mendapatkan pengalaman, dan belajar untuk bisa menimba skill-skill yang besar kemungkinan tidak pernah kita dapatkan di Universitas beneran yang kita jalani. Karena skill-skill istimewa ini seringkali justru bisa kita peroleh dari Universitas Organisasi. Dan memang kenyataannya kawan-kawan yang aktif di organisasi pun nampak jelas perbedaannya dengan kawan-kawan yang non-organisatoris.

Oke, kembali pada pembicaraan awal. Seringkali kita mendapati atau bahkan kita sendiri yang merasakan betapa sebuah amanah menjadi leader sebuah organisasi atau staf yang statusnya adalah sebagai peksos V (Pekerja Sosial indiVidual). Dalam hal ini, tak ayal ketika kemudian banyak kader yang merasa lelah sendiri, kaya amal dan pahal sendiri, dan pada akhirnya keluhan-keluhan pun datang. Entah mengarah kepada leader organisasi atau rekan kerjanya.

Bekerja secara profesional sebenarnya sudah bukan isu yang baru lagi untuk kemudian terus kita angkat. Sudah hal lama dan bukan hal baru. Namun, seperti itulah kondisinya bahwa dari dulu hingga sekarang mau tidak mau, mengakui atau tidak memang kita belum sepenuhnya bisa melakukan kerja-kerja da'wah secara profesional. Kalau seperti di iklan tivi, "ya namanya saja berusaha (belajar)".

Pada dasarnya profesional itu lebih mengarah kepada bagaimana seseorang itu bisa melakukan sebuah kerja dakwah atau melakukan tugas-tugasnya dengan amanah, dengan perencanaan dan timing yang jelas dan tepat sasaran, serta dia mampu membedakan antara personal style dengan profession style. Gaya personal dengan gaya profesi (di kerjanya). Terkait dengan hal ini, saya hendak menyinggung sedikit antara keduanya. Diakui atau tidak, banyak di antara kita atau bahkan kita sendiri terlibat dalam ketidaknyamanan bekerja sama dengan seseorang terkait dengan gaya personalnya, sehingga menyebabkan konflik internal yang bisa jadi berakibat berkepanjangan. Dalam hal ini, tentunya kita bisa melihat dan membedakan antara personal style dengan profession style. Bagi orang-orang yang merasa bahwa dirinya tidak terlalu disukai lingkungannya, seharusnya dia mampu menempatkan dirinya antara personal dengan profession style-nya.

Kebiasaan untuk bekerja individual bisa jadi menjadi personal style. Akan tetapi ketika dia dihadapkan pada sebuah kondisi bahwa dia harus bekerja sama, hendaknya dia bisa mengadaptasikan diri seperti itu. Karena kita berbicara soal profession. Akan sulit rasanya sebuah tujuan tercapai manakala kader tetap mempertahankan diri berada pada kondisi yang dia inginkan sendiri (bekerja individu apa pun kondisinya).

Selain itu, kita pula mendapati bahwa ketidaksukaan (dislike) terhadap sikap seseorang juga seringkali mempengaruhi diri untuk kemudian juga membenci orang tersebut. Pertanyaannya adalah mampukah kita bersikap membenci sikap seseorang TANPA membenci orangnya? Islam sendiri pun, pendidikan yang diajarkan juga lebih mengarah membenci SIKAP bukan ORANGnya. Bagaimana dengan kita?

Berikan Garansi kepadanya
Dalam melakukan kerja-kerja dakwah, seperti apa yang saya ungkapkan di atas, bahwa tidak jarang kader dakwah menolak sebuah amanah dengan defense, alasan bahwa "saya tidak mampu", "tidak kafaah", dsb. Apabila penyakit ini menjangkiti hampir seluruh kader di sebuah organisasi, adalah sebuah hal yang berbahaya menurut saya. Pun kalau sang kader tetap dipaksa, kemungkinan untuk tidak sepenuh hati melaksanakan amanah besar kemungkinan terjadi karena ketidakpahaman arah gerak yang dibawa organisasi atau sebaliknya, saking semangatnya hingga berjalan tiada arah, hanya menurut pikirannya sendiri saja.

Dalam pandangan saya, pada kasus kejadian seperti ini, ada beberapa hal yang perlu kita diketahui (berdasar pengalaman dan pengamatan), sebagai berikut:

1. Perlunya motor/penggerak/muharrik dalam sebuah organisasi
Adalah sebuah hal yang menurut saya sebuah keharusan dan kewajiban adanya seorang penggerak dalam sebuah organisasi. Ibarat sebuah jam tangan, dia tidak akan bisa berjalan, ketika tidak ada yang mampu menggerakannya, yaitu berupa catu daya, batu batterai. Akan stagnan jadinya ketika sebuah organisasi tidak ada yang menjadi motor dalam organisasi. Bisa jadi ada aktivitas yang dijalani, namun besar kemungkinan akan berjalan seolah tanpa ruh dan hanya rutinitas-rutinitas seperti biasa yang ujung-ujungnya dapat menimbulkan kejumudan dalam bergerak.

Penggerak/muharrik di sini tidak harus leader organisasi tersebut. Bisa orang lain yang bukan leader utama organisasi. Bisa ketua program atau justru staf. Meskipun sebenarnya secara nyata seharusnya (das sollen) adalah pemimpin/leader/qiyadah sebuah organisasi. Karena dia lah yang memegang kepemimpinan itu. Sehingga sudah selayaknyalah seorang pemimpin yang sukses, salah satunya adalah dia mampun membangkitkan motivasi anak buahnya yang sudah nampak terpuruk atau mengalami demotivasi.

Orang-orang yang menjadi penggerak adalah mereka yang biasanya:
a. Pernah mengalami perjuangan yang pahit, sehingga ingin kembali menggugah semangat agar tidak kembali terpuruk. Rasa pahit yang pernah ia jalani, akan menjadi sebuah spirit gerak tersendiri bagi dirinya. Dan biasanya orang-orang seperti ini adalah mereka yang juga terlibat dalam roda sejarah.


b. Paham betul visi, misi, strategi, ancaman, dan peluang keberhasilan yang sedang dan akan menimpa organisasi. Orang yang paham akan visi yang dijalankan, akan nampak sekali konsistensinya dalam memperjuangkan apa yang hendak diraihnya. Program-program yang tidak sesuai visi akan coba diminimalisir dan bahkan dihilangkan sama sekali, karena justru akan tidak sesuai dengan visi yang hendak dicapai.

c. Agresif. Kalau kita amati, kebanyakan dari mereka adalah bersikap agresif. Akan terlihat sekali terutama, para partner yang diajaknya kerjasama kuran atau bahkan tidak tahu dan bingung mengenai arah gerak roda organisasi. Karena mereka yang merasa bingung dsb, justru sedikit banyak memiliki pengaruh terhadap kecepatan transformati menuju arah perubahan organisasi.

d. Memiliki mindset/paradigma positif, membangun, komprehensif, dan transformatif.Paradigma merupakan cara pandang seseorang dalam melakukan sesuatu. Paradigma inilah yang kemudian menghantarkan seseorang dalam menyikapi atau memandang sesuatu. Ketika seseorang memandang dunia itu gelap, maka sekalipun banyak cahaya dan lampu PLN yang bertebaran, dunia tetap saja akan gelap (dalam makna permitsalan). Begitu sebaliknya. Jika memandang dunia itu bercahaya, maka sekalipun dunia itu gelap, dia pun akan melihat celah cahaya itu. Masih ingat dengan setengah isi dan setengah kosong karya Parlindungan Marpaung? Kalau Anda ditanya, Anda pilih mana antara setengah isi dan setengah kosong? Berdasar buku tersebut, setengah isi menunjukkan sikap positif, paradigma positif kita dalam memandang sesuatu. Begitu sebaliknya, setengah kosong menandakan kita lebih melihat sesuatu hal mengarah ke perihal negatif.

2. Sebarkan energi positif seluas-luasnya dan minimalkan energi negatif
Masih ingat firman Allah dalam surah Al-Hujurat: 11 yang berbunyi
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Sebarkan energi positif di mana Anda berada. Termasuk didalamnya berucap atau memanggil nama panggilan seseorang sekalpin. Islam sendiri, dalam memanggil mengajarkan untuk memanggil nama yang disenangi. Karena dari hal seperti ini saja, dapat mengundang energi negatif. Sehingga dengan sendirinya akan tercipta lingkungan yang kurang kondusif dalam bekerja. Dari gurauan, ejekan, dan celaan, meskipun menurut beberapa orang adalah hanya "guyon" saja atau sebagai bentuk rasa kedekatan, namun masih tetap saja sebenarnya tidak dibenarkan. Hal seperti ini apabila diulang-ulang dapat menimbulkan apa yang disebut sebagai "bullying" bentuk verbal. Jangka pendek mungkin bisa menimbulkan ketidaknyamanan tadi. Jangka panjang bisa menimbulkan demotivasi, tertekan, tersiksa sendiri dengan hal-hal negatif, bahkan depresi.

3. Berikan garansi pada orang yang kita beri amanah
Menurut Anda bagaimana ketika leader Anda adalah seorang yang otoriter? Tentu sangat tidak sepakat. Bisa jadi demonstrasi karena hal ini. Karena kita sudah bukan jamannya Hitler lagi. Seorang pemimpin otoriter, dalam menjalankan kepemimpinannya cenderung top down perintah/kebijakan yang dikeluarkannya. Menghambat kreativitas anak buahnya dalam berkembang dan berkreasi, hingga nantinya bisa terjerumus ke dalam pendidikan yang tidak mencerdaskan kader. Lain halnya dengan pemimpin yang transformatif. Dia mampu memotivasi dan mendorong anak buahnya dalam melakukan pengembangan dan perubahan sebuah roda organisasi. Dalam setiap perubahan yang hendak dilakukan, tidak ada ceritanya tidak ada yang menolak. Pasti ada yang menolak, di awal-awalnya, resisten, atau apalah bahasa lainnya.

Penolakan tingkat paling rendah menurut saya adalah kebiasaan penolakan dengan alasan tidak mampu atau tidak bisa.
Seorang pemimpin, dituntut untuk bisa memahami potensi-potensi anak buahnya. Sehingga dia mampu memetakan dan mendelegasikan amanah atau menambah amanah kepada kader tersebut. Dalam dalam hal ini, ketika leader tahu potensi anak buahnya sedangkan anak buahnya merasa tidak bisa misalnya, maka sang penggerak harus bersedia untuk memberikan garansi atau keyakinan bahwa ketika kader tidak akan ditinggal, bahwa kader akan terus dibantu, bahwa kita akan senantiasa terbuka apabila ada kesulitan.
Ibarat seorang anak yang takut untuk naik ke atap rumah dengan menggunakan tangga. Kita sebagai orang dewasa atau partner harus menyakinkan bahwa tangga yang akan dia naiki aman, tangga akan dipegangi selama dia hendak naik, dan akan menunggu di bawah manakala dia sudah sampai di atas, serta siap untuk memberikan bantuan dan siap untuk naik ke atas pula bila dibutuhkan. Jangan sampai, kita "mbujuki" (bahasa Surabaya) pada orang tersebut. Yang katanya akan disupport, tapi tahu-tahu ketika sudah sampai di atas, dengan begitunya yang di bawah agak menjauh dan hanya melihat dan memandang saja. Bagi kader-kader yang memang sudah settle, tidak begitu masalah, namun bagi mereka yang masih perlu bimbingan untuk itu, kurang tepat rasanya.
Sepertihalnya pula ketika Rasulullah memilih Mus'ab bin Umair untuk membuka daerah baru, Umar yang dijadikannya panglima perang dan bukan yang lain. Ini semua semata-mata karena Rasulullah memahami potensi dan kemampuan para jundinya. Begitu juga halnya ketika beliau melarang Abu Dzar untuk jadi gubernur.


4. Tetap hargai karya/hasil kerja yang dilakukan kader apapun bentuknya
Saya teringat sebuah cerita dalam sebuah buku karya Parlindungan Marpaung juga. Ketika itu ada salah seorang anak desa yang selalu diejek teman-temannya di sekolah. Karena ke-desa-annya (ndeso), tidak kaya, miskin, dsb. Hingga suatu saat, sang ibu guru yang sangat ia sukai pun ulang tahun. Di kelas, teman-temanny memberikan hadiah dan selamat kepada sang guru. Setelah teman-temannya selesai memberi ucapan dan hadiah, gantian anak itu pelan-pelan mendekati sang ibu guru. Dia memberikan sebuah kotak kecil. Dengan penuh senyum lembutnya, sang ibu guru membukanya dan ternyata ada sebuah kalung yang sudah tidak baru lagi dan sisa parfum yang nampak masih tinggal separo. Sang guru mengucapkan terima kasih dan memberikan senyuman lembutnya, dia bertanya "kenapa kau memberikan kalung dan parfum ini?". Si anak pun menjawab, "itu adalah kalung dan parfum sisa ibuku yang telah meninggal. Aku ingin ibu guru memakainya." Apa yang terjadi setelah si anak lulus? Hanya karena rasa senang, senyuman tulus, dan apresiasi sang guru, akhirnya itu dijadikan sebuah semangat positif yang luar biasa bagi sang anak.

Setiap kali lulus menempuh jenjang sekolah dia mengirimi surat kepada sang ibu guru yang berisi "ini berkat kalung dan parfum yang ibu mau memakainya." Hingga dia lulus kuliah, si anak masih memberikan surat dengan isi surat yang isinya sama. Apapun hasilnya kita harus menghargainya.

5. Dahulukan apresiasi, baru kritikan dan masukan
Ini terkait dengan nomor sebelumnya. Berikan apresiasi atau penghargaan terlebih dahulu kepada kader terkait dengan hasil kinerjanya. Baru kemudian berikan kritikan dan masukan yang sifatnya membangun dan positif.

6. Arahkan kader untuk memahami potensi yang dimilikinya
Ajak dan arahkan kader untuk bisa memahami potensi apa yang dimiliki. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menguatkan dan memperbaiki kinerja serta mengoptimalkan kerja-kerja dakwan dalam mensukseskan visi yang dimiliki. Jika misalnya seorang kader lebih cenderung suka menulis dan grafis, akan kesulitan apabila dia ditempatkan di departemen kaderisasi misalnya. Banyak kejadian di sekitar kita, di organisasi kita, atau bahkan melanda diri kita sendiri.

Ketika kita tidak mengenal potensi kita ke mana, akhirnya kita pun dengan "seenaknya" akan ditempatkan di jabatan yang bisa jadi kita sendiri kurang "sreg". Sehingga tidak menutup kemungkinan fenomena, "afwan saya tidak bisa/mampu" pun menjamur. Adalah sangat perlu mengetahui potensi masing-masing kader. Kecuali memang bagi kader-kader yang sifat open experience nya bagus. Rasa keingintahuan wawasan barunya tinggi bisa dijadikan sebagai modal awal untuk bisa daturh atau "dipandaikan" di sana-sini. Meskipun sebenarnya ketika tidak tahu potensinya besar kemungkinan belajar mulai dari nol adalah sebuah kemungkinan yang akan terjadi. Paling tidak dengan mengetahui potensi, akan dapat mengakselerasi atau bisa dilakukan loncatan-loncatan gerak.

Sehingga hal ini dapat mendukung seorang kader itu untuk beraktualisasi diri dan menggiring kepada pemaknaan bahwa berorganisasi bukanlah bekerja dan asal melaksanakan program, akan tetapi berorganisasi adalah aset peluang berharga dan tempat untuk berkarya. Sehingga dapat memungkinkan mampu memompa semangat gerak berjamaah yang bisa bersinergi.

7. Budaya saling mengingatkan
"...kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al-'Ashr:3)

Dalam kerja sama dalam dakwah (amal jama'i), sikap saling mengingatkan dan menasihati tentu sudah bukan bahasanya lagi "sebaiknya" yang lebih mengarah kepada saran. Akan tetapi dengan kata "wajib" dan "menjadi keharusan". Perasaan takut untuk berkreasi dan bertindak/ berperilaku tentu dapat terhindar dan kita bisa menjadi nyaman manakala sistem untuk saling mengingatkan ini digalakkan. Sehingga di situ akan tercipta sebuah lingkaran nasihat-menasihati dan saling mengingatkan. Ukhuwan akan terjalin. Sehingga ketakutan kalau salah, kalau dianggap memberontak, nakal, dsb dapat diminimalisir. Lakukan apa yang kamu pahami, jika salah akan ada yang mengingatkan.

Allahua'lam bishowab.

0 komentar:

Posting Komentar