namovanma | Dialog itu tidak mengalir begitu saja. Bagiku begitu. Satu persatu dia menjelaskan dan menceritakan tentang apa yang selama ini dia perjuangkan. Aku pun hanya duduk terdiam diruangannya sambil mendengarkan dengan seksama. Sesekali aku menganggukkan kepala dan sedikit memberikan tanggapan.
Aku memang menjadikan dia sebagai guruku. Guru yang barangkali tidak kutemukan sebelumnya di tempat yang lain. Bersyukur aku dipertemukan Allah dengan orang tersebut. Terkadang dalam hatiku bergeming, "Ya Allah, bila aku tidak di sini lagi, apakah mungkin aku mendapati orang yang seperti ini lagi? Aku yakin bahwa karakter model dia termasuk minoritas." Banyak hal yang kupelajari dari dia.
Di akhir ceritanya, kemudian dia memberikan sebuah cerita lagi. "Pagi-pagi aku terima telpon di kantor, pas karyawan belum datang. Tapi aku sudah datang. Pas aku baca koran, ada telpon. Karena nggak ada yang ngangkat, aku yang angkat." ceritanya.
Cerita mengalir terus dan aku pun mendengarkan. Lagi-lagi dengan seksama. Maklum orang psikologi kan harus beri perhatian pada orang yang diajak bicara. Akhirnya dia melanjutkan ceritanya kembali. "... yang telpon itu ibu-ibu. Tiba-tiba dia berkata, 'Pak, saya pengen cepat mati. Tapi saya tidak ingin matinya dengan bunuh diri. Saya sudah seringkali berdoa untuk biar segera mati dan diambil nyawa saya. Tapi sampai sekarang kok tidak diambil-ambil'. Gitu As, bilangnya. Terus aku tanya, 'Ibu kenapa pengen bunuh diri?'. Dan jawabnya, 'Karena suami saya sudah lama tidak peduli atas apa yang saya kerjakan. Apa-apa yang saya kerjakan tidak dianggap, diacuhkan sama sekali. Nggak nguwongke saya.' ngomonge ngono. Terus aku kan tanya 'Jika misalnya ibu pengen segera mati, siapa yang mengurusi anak-anak ibu?' tanyaku As. Kebetulan ibu itu punya 3 orang anak. Anak pertama sudah SMP. Terus dia bilang, 'Klo saya mati, kan ada Allah yang mengurusnya' Jawabane iku ngono As. Terus akhire aku ngene... 'Bu, Allah itu mengurusi anak ibu itu, salah satunya adalah melalui ibu. Salah satunya melalui ibu ini... Bukan yang lain. Kalau ibu misalnya pengen cepat mati, lalu lewat siapa nantinya anak-anak ibu dirawat? Tidak tahu nantinya dirawat siapa.' Tak omongi ngono dik nuangis wonge...."
Pelajaran yang kemudian dia berikan adalah. Sesungguhnya kita sendirilah yang membuat apakah hidup kita itu bermakna atau tidak. Berarti atau tidak. Bukan orang lain. Sama seperti ibu tadi. Bersikap seperti apapun ternyata suaminya tidak menghargai atau menganggapnya sama sekali (tidak digubris).
"Bekerjalah kamu, kamu Allah dan Rasul-Nya akan melihatmu"
2 komentar:
salut atas artikel ya..moga apa yang anda tulis dapat bermanfa'at bagi makhlukNYA yang mau berfikir..Amin..
Memang yang bisa memahami eksistensi diri cuma kita sendiri..should be or would be always depend on our-selves ..sorry english ya jelek..salam kenal
buat saudaraku anonim. yups..makasih balik ya commentnya. Ya, mudah-mudahan bisa kita ambil pelajarannya lah... termasuk saya sendiri. salam kenal balik.
Posting Komentar