INFO

DALAM RANGKA TAHUN BARU MASEHI #2012: BLOG SEDANG DIPERMAK ULANG.

Cerita di tengah cerita tentang konsistensi

Written By Informasi singkat tentang saya on Minggu, 13 Januari 2008 | 07.43

Suasana serasa panas, sekalipun di ruangan itu ada sebuah AC yang menyala. Ruangan sebesar kurang lebih 3x4 meter, dengan AC besar satu buah seolah melupakanku bahwa udara sekitar dingin.

Sesekali orang itu berucap “Itu namanya tidak konsisten. Atas apa yang sudah disepakati.” Saya duduk tepat dihadapannya. Sayapun memperhatikan dengan seksama kalimat tiap kalimat apa yang orang itu bicarakan. Entah berapa kali kata “konsisten” itu keluar dari pembicaraannya. Entahlah, saya tak cukup waktu untuk menghitungnya. Saya hanya mendengarkan dengan seksama dan sesekali saya mengangguk-anggukkan kepala tanda saya sepakat dengannya.

“Seharusnya, klo memang mereka konsisten ketika ada kasus di “sana” (tempat lain) seharusnya bisa diperlakukan yang sama. Saya bisa saja menggugat balik atas perlakuan yang diberikan kepada kita. Kenapa ketika pas kejadian ini dan kebetulan terjadi di sini itu dipermasalahkan? Dan kenapa ketika di “sana” (tempat lain) terjadi pengambilan keputusan sendiri dan itu tidak dipermasalahkan?” Kata orang itu dengan menunjukkan emosi yang terlihat tampak marah, dan sesekali tangannya naik turun seolah seperti seorang guru sekolah yang menerangkan sebuah pelajaran kepada murid-muridnya.

Sekelumit dan sepenggal cerita dari tempat saya bekerja. Meski cerita tak lengkap, apa dan kenapa. Serta apa yang terjadi tidak saya ceritakan di sini. Yang pastinya, banyak pelajaran yang saya dapat dari sebuah kantor kecil tempat saya bekerja. Terutama ketika saya berinteraksi dengan para atasan-atasan, yang notebennya mereka kuanggap sebagai guru atau murobbi di kantor.

Pergaulan saya dengan mereka cukup banyak memberikan inputan yang luar biasa. Membuka mata dan wawasan, serta pengajaran dalam perihal mempertahankan sebuah konsistensi. Sebagai seorang yang pembelajar awal, saya seringkali hanya terdiam, mengamati, membaca, dan kemudian mencerna. Karena itulah saya senang ketika harus mengamati seseorang terutama sewaktu dia berucap dan bertindak.

Pengalaman dan pelajaran itupun akhirnya saya bawa ketika saya aktif di sebuah organisasi mahasiswa yang semuanya adalah Islam dan berharokah tertentu. Dan ternyata, luar biasa. Banyak diantara kader (terutama para penggedenya) entah lupa ataukah sengaja melupakan akan arti sebuah konsistensi. Seolah dan sekelibat pengamatan saya konsistensi didudukkan di bawah sebuah “kepentingan” tertentu. Ironisnya itu diajarkan turun temurun kepada beberapa kader tertentu, yang tentunya tidak semua kader bisa mendapatkan “kunci rahasia” ini. Meskipun, sesekali atau sering saya bisa membaca sinyal-sinyal itu, yang notebennya saya bukanlah orang yang termasuk kader tertentu itu.

Senang saya menjadi pembelajar dan pengamat mereka di arena diskusi dan pengambilan keputusan. Memang, ketika tidak tahu terlebih dahulu konteks pembicaraan dan latar belakangnya, maka akan cenderung terjebak dalam jawaban “iya” saja dan kata “sepakat”. Tanpa banyak berpikir lagi, dan cenderung mengandalkan rasa “ketsiqohan” saja.

Tidak lembaga besar, perusahaan, partai politik. Sebuah organisasi kemahasiswaan saja konsistensi ini seolah mulai disingkirkan. Entah disadari ataukah tidak. Perubahan perkembangan di lapangan memang terkadang atau sering menggoda kita untuk kemudian tidak konsisten dalam bersikap atas apa yang telah disepakati dan dibuat. Namun, sekali lagi saya pikir sikap konsisten itu harus dimiliki oleh setiap kader. Arti konsistensi harus tertancap kuat oleh para kader-kader yang iron stock bagi bangsa ini.

Akan repot jadinya, ketika adanya kepentingan-kepentingan yang tidak terlalu jelas (menurut sebagian orang) terus kemudian menggoda ubahnya konsistensi ini, dan kita menjadi prajuritnya. Sungguh ironis sekali tentunya. Banyak sekali sebenarnya kasus-kasus ketidakkonsistenan dalam pengambilan sebuah sikap ataupun perkataan sekalipun.

Saya teringat akan sebuah diskusi yang saya lakukan dengan seorang al-akh (klo antum membaca ini dan merasa, salam perdamaian ya...). Seketika itu dia mengatakan melalui YM-nya, “sekarang ana tahu who are you...”. Berbalik saya bertanya, “memangnya saya siapa?”. Dan kemudian dia kembali memberikan jawaban, yang sebenarnya saya sendiri tidak menyangkanya. “Antum membolak-balikkan kata-kata ana.”

Diskusi pun akhirnya beralih ke topik ini. Saya coba untuk menceritakan bahwa pelajaran itu saya dapatkan dari kantor. Dan saya mencoba untuk menggiringnya menebak kemana arah pembicaraan saya. Entah memang dia tidak memahami, tidak bisa membaca atau entah dia hanya berpura-pura saja, saya tidak tahu pasti. Namun, ternyata sewaktu saya mencoba untuk terus mempertanyakan “masak antum nggak tahu ke mana juntrungannya?”. Dia pun tidak memberikan respon balik. Saya hanya berpikir, kenapa tidak ada respon balik ya? Yah, mungkin saya nganyelke sewaktu diajak diskusi. Ah biar saja lah...

Disadari ataukah tidak kita mudah sekali berucap dan mungkin lupa untuk dipikirkan konsekuensi dari ucapan itu. Di sini saya teringat lagi, sewaktu saya pergi ke walimahannya seorang teman kantor ke Tulungagung. Kebetulan kita satu mobil dengan seorang ustadh. Ketika ada yang coba berkelakar, sang ustadh pun tiba-tiba berkata, “awakmu iku ngomong ngono wis dipikir durung? Yen ngomong iku dipikir disik ngono lho...”, sontak ustadh itu.

Yah, selayaknya seperti seorang birokrat, berpikir dulu baru bertindak. Sebuah pelajaran berpikir dulu baru bertindak merupakan sebuah pelajaran awal menuju konsistensi itu. Kita harus sadar bahwa kita didengar, diperhatikan, dan dilihat orang. Sadar bahwa setiap yang kita keluarkan akan dilihat oleh orang dan dimintai pembuktiannya. Tidak hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang akan melihat. Tapi penduduk bumi pun akan seperti itu.

Yah, kadang saya berpikir, “emang enak mempertahankan konsistensi?”. Berat, sungguh berat. Kalau dalam Al-Qur’an saja mengatakan, kecuali orang-orang yang khusyu’. Rasulullah saw sendiri ketika mendapatkan perintah untuk konsisten, rambut beliau langsung memutih. Saking betapa tidak ringannya bersikap konsisten itu. Allahua’lam bishowab.

0 komentar:

Posting Komentar